Oleh: Padli
“Jika Jambi adalah tubuh, maka Tanjung Jabung Timur adalah ujung jarinya menjaga laut, mangrove, dan warisan yang nyaris terlupakan.”
Di sudut paling timur Provinsi Jambi, berdiri sebuah kabupaten yang kerap tak disebut dalam gegap gempita pembangunan nasional. Tanjung Jabung Timur atau Tanjabtim, begitu masyarakat menyebutnya adalah perbatasan antara darat dan laut, antara rawa dan ladang, antara masa lalu yang lestari dan masa depan yang menanti disapa.
Dibentuk tahun 1999, kabupaten ini mungkin belum semaju jantung provinsi, namun denyutnya tak pernah padam. Di balik sunyinya nama Tanjabtim di televisi nasional, tersimpan ribuan kisah rakyat yang hidup dari tambak, kebun kelapa, dan hutan mangrove yang masih berdiri gagah meski terus didera abrasi.
Menjaga Alam, Menantang Zaman
Tanjabtim adalah benteng terakhir hutan bakau Jambi. Lebih dari 30 ribu hektar kawasan mangrove tersebar di wilayah pesisirnya khususnya di Kecamatan Nipah Panjang, Sadu, dan Mendahara Ulu. Ini bukan hanya penjaga ekosistem, tapi benteng alami dari ancaman krisis iklim.
Pemerintah daerah bersama masyarakat adat dan kelompok nelayan telah lama sadar, bahwa menjaga hutan adalah menjaga hidup. Namun, tantangan datang tak henti: abrasi, tumpang tindih izin, hingga aktivitas tambak liar yang merusak garis pantai. Di tengah keterbatasan anggaran, upaya konservasi tetap dilakukan. Dengan gotong royong. Dengan keringat.
Infrastruktur: Jalan yang Belum Semua Bertuan
Tak bisa dipungkiri, Tanjabtim masih menghadapi persoalan klasik: konektivitas. Beberapa desa di Sadu dan Kuala Jambi masih harus ditempuh dengan perahu atau kendaraan darat berjam-jam lamanya. Akses jalan yang belum maksimal, jembatan-jembatan darurat, hingga sinyal internet yang kadang hanya muncul di satu titik desa, menjadi PR besar bagi pembangunan berkeadilan.
Namun, dalam senyap, infrastruktur pelan-pelan dibangun. Jalan poros penghubung antarkecamatan terus diperpanjang. Dermaga nelayan diperbaiki. Sekolah-sekolah di desa terjauh kini sudah punya tenaga pengajar tetap, walau jumlahnya belum ideal.
Potensi Wisata yang Menunggu Dibuka
Di tengah segala keterbatasan, Tanjabtim menyimpan permata yang belum banyak dikenal: Pantai Cemara di Nipah Panjang, Desa Wisata Simpang dengan kampung batiknya, hingga pesona Taman Nasional Berbak-Sembilang yang menjadi paru-paru Jambi bagian timur.
Namun promosi wisata belum maksimal. Jalan rusak, kurangnya penginapan, dan minimnya anggaran promosi digital membuat potensi itu hanya jadi cerita lokal. Padahal, dengan ekowisata sebagai andalan, Tanjabtim bisa jadi destinasi unggulan Sumatera.
Masa Depan yang Harus Dirawat
Pemerintah Kabupaten terus menapaki jalan pembangunan inklusif. Program pertanian terpadu, penguatan UMKM pesisir, hingga pengembangan sekolah vokasi menjadi bukti bahwa Tanjabtim bukan sekadar kabupaten pesisir, tapi pusat harapan yang terus bertumbuh.
“Kami di sini bukan hanya menjaga laut, tapi menjaga wajah Jambi dari sisi yang jarang dilihat,” ujar seorang nelayan tua di Mendahara, sembari memperbaiki jaring.
Tanjung Jabung Timur mungkin bukan kabupaten dengan suara paling keras. Tapi di tiap langkah kaki warganya, ada keyakinan bahwa Jambi tak akan lengkap tanpa mereka.
Discussion about this post