Oleh: Dandi Bratanata
Di tengah iklim politik gerakan yang semakin rapuh, sikap organisasi bukan lagi sekadar soal arah, tapi juga soal keberanian menjaga integritas. Itulah yang kini dipertaruhkan oleh Dewan Pimpinan Cabang (DPC) GMNI Jambi. Organisasi yang selama ini menggaungkan persatuan dan konsolidasi kader, kini justru terjebak dalam sikap kontradiktif dan elitis yang mencederai semangat kolektif perjuangan.
DPC GMNI Jambi sebelumnya tampil progresif dengan menolak tunduk pada salah satu kubu DPP GMNI yang berseteru, yakni antara faksi Imanuel Cahyadi dan faksi Arjuna Putra Aldino. Mereka menyuarakan semangat persatuan, bahkan menginisiasi jalan tengah: menunggu terbentuknya Kongres Persatuan atau hasil rekonsiliasi yang sah secara kolektif. Sikap ini awalnya dipandang sebagai langkah dewasa dalam menyikapi dualisme yang sudah terlalu lama menodai marwah organisasi.
Namun, semua berubah ketika pengurus DPC GMNI Jambi secara diam-diam mulai merapat ke faksi Imanuel. Tanpa mekanisme forum kader, tanpa musyawarah terbuka, dan tanpa kesepakatan bersama, mereka menetapkan arah organisasi kepada satu kubu mengkhianati konsensus yang sebelumnya di agungkan. Bahkan pelantikan pengurus baru dan dukungan terhadap Kongres ke-XXII versi Imanuel dilakukan secara seremonial dan politis, seolah mengabaikan keresahan di tingkat akar rumput.
Ini bukan hanya soal pilihan arah, ini soal etika perjuangan.
Bagaimana mungkin organisasi yang mengusung semangat Marhaenisme dengan prinsip kerakyatan dan kolektivitas malah mengambil keputusan sepihak layaknya elite partai yang bermain kuasa di balik layar?
Sikap ini tak hanya menunjukan kemunduran dalam praktik organisasi, tetapi juga mencerminkan ketidakjujuran intelektual. Jika dulu menolak kepemimpinan DPP karena dianggap tidak representatif dan inkonsisten, mengapa kini justru mendukung tanpa proses refleksi bersama? Apa bedanya dengan tindakan yang mereka kritik sebelumnya?
Tak sedikit kader yang kecewa. Bukan karena pilihan jatuh ke kubu tertentu, tetapi karena prosesnya cacat secara moral dan struktural. Organisasi tak boleh menjadi kendaraan ambisi pribadi sekelompok elit. GMNI bukan organisasi milik pengurus tapi milik kader, milik gerakan, milik sejarah.
Lebih menyedihkan lagi, tindakan ini membuka ruang tafsir bahwa keputusan tersebut bukan murni lahir dari dinamika internal kader, melainkan sarat akan kepentingan eksternal dan pragmatisme jangka pendek. Seakan organisasi ini bukan lagi alat perjuangan ideologis, tapi hanya komoditas politik yang diperdagangkan dalam kongres.
Jika ini terus dibiarkan, DPC GMNI Jambi tidak hanya kehilangan kepercayaan dari kader internalnya, tetapi juga kehilangan posisi moral dalam wacana persatuan nasional GMNI. Mereka tak lagi layak bicara soal idealisme, karena mereka telah merobek konsensus itu dengan tangan sendiri.
Kini saatnya kader bangkit menyuarakan kembali suara kolektif. Membuka ruang konsolidasi sejati, bukan sekadar seremoni pelantikan yang dipoles dengan jargon revolusioner. Jika GMNI ingin tetap relevan dalam sejarah gerakan nasional, maka integritas kader harus jadi fondasi bukan kompromi atas nama kepentingan.
Penulis merupakan Kader GMNI Jambi
Discussion about this post