Aurduri.com – Foto, boneka, baju, tulisan, dan lukisan membuat merinding pengunjung salah satu ruangan gedung Teater Arena Taman Budaya Provinsi Jambi, pada minggu ketiga Desember 2022. Layaknya galeri, tempat itu menampilkan berbagai karya dan barang-barang milik korban kekerasan.
Pohon kering bercabang di tengah ruangan, dihiasi tulisan korban dan berbagai pemberitaan media masa tentang kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sementara setiap sisi dinding terpajang lukisan, pakaian, serta cerita pengalaman para korban.
“Kok merinding aku,” kata salah satu pengunjung. “Iya, baru masuk saja sudah merinding,” balas temannya yang datang bersamaan pada Jumat sore (16/12).
Menumbuhkan rasa percaya diri kepada korban kekerasan untuk berani menyuarakan apa yang mereka rasakan bukan perkara yang mudah. Direktur Beranda Perempuan, Zubaidah mengatakan, bahkan pameran seperti ini pun perdana dilakukan di Indonesia.
Pameran merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan Panggung Amal & Pameran Karya Korban, yang diselenggarakan Yayasan Beranda Perempuan bersama berbagai komunitas mulai dari mahasiswa, seniman, hinga jurnalis di Jambi selama dua hari (15 – 16 Desember 2022).
“Karena kan biasanya yang namanya korban ketika dia bercerita tentang trauma, tentang ketakutan, itu selalu diremehkan. Jadi untuk mempermudah itu, kita membebaskan korban untuk membuat apa saja,” kata Zubaidah, Jumat sore (16/12).
Angka kasus kekerasan terhadap perempuan tidak mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada 8 Maret 2022 Komisi Nasional (Komnas) Perempuan merilis terdapat 338.496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan di tahun 2021, meningkat 50% dari 226.062 kasusĀ pada 2020.
Panggung Amal & Pameran Karya Korban ini sebagai bentuk upaya para pendamping untuk membantu korban dalam memulihkan kondisi hidup. Selain pameran, juga ada layanan konseling gratis untuk korban, pemutaran film pengalaman mendampingi korban kekerasan, diskusi tematik, seni musik, dan pelatihan menganyam.
Direktur Beranda Perempuan mengatakan, kegiatan ini bertujuan mengajak masyarakat agar mendukung perjuangan korban kekerasan untuk mendapatkan hak atas pemulihan hidup. Sebab, hak korban untuk bisa pulih dari trauma adalah perintah undang-undang yang harus difasilitasi negara.
“Hak pemulihan atas hidup itu misalnya memfasilitasi korban untuk mendapatkan layanan konseling gratis. Karena sampai hari ini kan layanan konseling itu mahal ya, sementara beberapa korban itu bahkan mayoritas korban yang kita dampingi itu kan dari keluarga menengah ke bawah,” ungkapnya.
Kembali ke pameran
Saat masuk ke ruangan pameran, pengunjung sudah ditunggu tiga boneka dan barang-barang milik KY di atas meja berselimut kain putih. Dua stel pakaian bekasnya juga ikut mendampingi foto lokasi di mana KY ditemukan meninggal dunia.
KY merupakan anak usia 4 (empat) tahun yang sempat hilang dan ditemukan meninggal dunia pada 25 Juli 2022 lalu. KY diduga menjadi korban kekerasan, sampai saat ini pelakunya belum ditemukan.
“Harus ada upaya penegakan hukum tegas terhadap kasus Kekey ini. Karena sampai sekarang itu kasus Kekey ini menjadi ketakutan bagi banyak orang, terutama ibu ya, ibu-ibu yang mempunyai anak kecil. Kalo misalkan pelakunya tidak ditangkap pasti dia berkeliaran, jadi ketakutan semua masyarakat,” kata Direktur Beranda Perempuan.
Etika pemberitaan kasus kejahatan susila
Memulihkan nama baik dan kondisi mental korban harus didukung oleh semua pihak. Peran media masa juga menjadi sangat penting dalam memberitakan kasus kejahatan.
Namun, rendahnya pemahaman tentang kode etik kerap terjadi di dalam dunia pemberitaan. Alih-alih mendapatkan pembaca yang banyak dengan memuat semua identitas korban, justru malah semakin memperburuk keadaan korban dan keluarga korban.
Jurnalis Harian Kompas, Irma Tambunan, yang menjadi pembicara diskusi kode etik peliputan korban kekerasan seksual pada kegiatan itu mengatakan, tanpa kode etik liputan tentang korban kekerasan seksual bisa jadi bias dan tidak tepat pembahasannya.
“Dan yang lebih parahanya lagi,” kata Irma, “Itu bisa berdampak berulangnya kejahatan di kemudian hari. Kesalahan menggunakan diksi itu malah jadi membuat fantasiĀ fantasi yang membuat terulangnya kejahatan. Kan jangan sampe itu terjadi. Sehingga dibuatlah panduan panduan supaya bagaimana melindungi korban peristiwa kejahatan.”
Penggunaan diksi yang salah dalam penulisan berita itu sering ditemukannya di media media daring (online), media yang paling mudah diakses masyarakat di era sekarang ini. Hal tersebut tentu sangat merugikan korban.
“Yang paling sering itu ketika misalnya menceritakan peristiwa pemerkosaan itu terjadi, misalkan dalam hal kronologisnya salah diksi, sehingga malah jadi menimbulkan fantasi, atau membuat judul, judulnya malah menyudutkan korban,” pungkas Irma Tambunan.
Terkait dengan perlindungan korban, juga sudah tertuang dalam Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik, yang berbunyi “Bahwa wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.”
Penulis: Hajrin Febrianto
Discussion about this post