JAKARTA, Aurduri.com – Diduga abaikan putusan Mahkamah Agung (MA), PT RKT (Rezeki Kencana Prima) terancam dipolisikan.
Hal ini disampaikan Dirut PT Sinar Kalbar Raya (SKR), Rudi Salim didampingi kuasa hukumnya Damianus H Rejaan SH, MH, kepada awak media, Jumat (13/10/2023) di Jakarta.
Seperti yang disampaikan Rudi, PT Sinar Kalbar Raya adalah perusahaan yang bergerak di bidang pemanfaatan hasil hutan yang memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (HTI) sejak tahun 1993 seluas ± 38.000 Hektar (Ha) di Provinsi Kalimantan Barat yang meliputi Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Landak.
Izin usaha PT SKR tersebut berlaku selama 60 tahun, sampai tahun 2053.
Rudi mengatakan, saat ini izin lahan yang mereka kantongi sudah tidak lagi sesuai. Dimana ada sekitar 6.000 Ha diserobot perusahaan perkebunan sawit.
Padahal, dalam UU tidak dibenarkan kawasan hutan dibuat sebagai perkebunan.
“Ya, sekitar 6.000 hektar lahan konsesi kita sekarang sudah ditanami sawit oleh beberapa perusahaan perkebunan yang bernaung di bawah PT RKT. Ini terjadi sejak tahun 2008,” ucap Rudi.
Kronologis
Kuasa Hukum PT SKR, Damianus H Rejaan SH MH menceritakan secara detail kronologis terjadinya pengalihfungsian kawasan hutan yang dilakukan PT RKT.
Dia menyebutkan, pada tahun 2013, terbit SK Menteri Kehutanan Nomor SK.936 sehingga sebagian wilayah izin usaha PT SKR berubah fungsi dari sebelumnya hutan menjadi non hutan/area penggunaan lain (APL).
Dalam diktum Ketujuh SK Menteri tersebut dinyatakan bahwa izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan yang masih berlaku dan berada dalam kawasan hutan yang mengalami perubahan peruntukan, masih tetap berlaku sampai dengan izin usahanya berakhir.
“Artinya, meskipun sebagian wilayah PT SKR berubah fungsi kawasan dari hutan menjadi non hutan/APL, namun izin PT SKR tetap berlaku sampai tahun 2053. Harusnya, siapa pun yang akan memanfaatkan untuk perkebunan berkoordinasi dengan kami sebagai pemegang izin. Ini yang tidak pernah mereka (PT RKT,red) lakukan,” terang Damianus.
Dia juga menyebutkan, sejak tahun 2015 pasca kebakaran hutan, sebagian wilayah izin usaha PT SKR di Kabupaten Landak telah ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK).
Menteri LHK pun telah menyurati pemegang izin pemanfaatan hutan, termasuk PT SKR maupun pelaku usaha perkebunan termasuk sawit agar tidak melakukan aktivitas di wilayah gambut tersebut.
Namun, pada 29 April 2016, Gubernur Kalimantan Barat waktu itu, Drs. Cornelis, M.H mengirimkan surat kepada Menteri LHK yang berisi usulan pencabutan izin usaha milik PT SKR dengan alasan PT SKR tidak melaksanakan kewajiban dan meninggalkan lokasi.
“Padahal faktanya, PT SKR tidak melaksanakan aktvitas usaha di sebagian wilayah kerja di Kabupaten Landak karena telah ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut. Kita menduga surat Gubernur Kalbar tersebut untuk melegalkan aktivitas sawit milik PT Rejeki Kencana Prima yang telah ada sebelumnya diatas wilayah izin usaha PT SKR,” ucapnya.
“Dugaan itu terbukti ketika pada tahun 2017, Bupati Landak Kaka itu Karolin Margret Natasha (anak dari Drs. Cornelis, M.H), menerbitkan Izin Lokasi untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit atas nama PT RKP seluas ±6.274 ha yang juga berlokasi di atas areal izin PT SKR, tepatnya di Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak, sehingga terdapat tumpang tindih,” lanjutnya.
Kemudian, sebutnya lagi, pada 6 Februari 2018, Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III mengeluarkan Hasil Telaahan Teknis Fungsi Kawasan Hutan Terhadap Areal perkebunan sawit atas nama PT RKP, yang menyatakan bahwa Izin Lokasi perkebunan sawit PT RKP terdapat tumpang tindih perizinan dengan izin usaha milik PT SKR.
Lantas, pada 2 Juni 2018, Bapedda Kabupaten Landak mengeluarkan Rekomendasi yang merekomendasikan agar PT RKP terlebih dahulu menyelesaikan masalah tumpang tindih izin lokasinya dengan PT SKR dan tidak melakukan kegiatan sebelum status areal izin diperoleh.
Bupati Landak bukannya memfasilitasi penyelesaian masalah tumpang tindih peruntukan lahan antara PT SKR dan PT RKP, tetapi malah mengirimkan surat permohonan kepada Menteri LHK agar dilakukan revisi (Addendum) areal kerja izin usaha PT SKR.
Adapun alasan Bupati Landak dalam surat tersebut adalah karena areal izin usaha PT SKR berada di Areal Penggunaan Lain dan dikuasai oleh masyarakat. Padahal wilayah tersebut bukan dikuasai masyarakat, melainkan telah telah ada perkebunan sawit milik PT RKP sejak kawasan tersebut masih berstatus hutan.
Pada 21 Maret 2021, Menteri LHK menerbitkan Keputusan Nomor SK.75 yang mengurangi luas izin usaha PT SKR dari ± 38.000 Ha menjadi ± 31.721 Ha.
Wilyah izin usaha PT SKR yang dikurangi adalah wilayah izin usaha yang terletak di Kabupaten Landak yang telah ditanami sawit oleh PT RKP, padahal wilayah tersebut berstatus kawasan lindung gambut sehingga dilarang bagi aktivitas perkebunan maupun aktvitas pemanfaatan HTI.
Adapun dasar penerbitan Keputusan Menteri LHK tersebut adalah Surat Bupati Landak tgl 10 Desember 2020, Surat Gubernur Kalimantan Barat tgl. 29 April 2016, serta audit kinerja PT SKR.
MA Gugurkan SK Menteri
Merasa dirugikan, PT SKR lantas menggugat
SK Menteri LHK No.75 pada 14 Oktober 2021 ke Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN) Jakarta dalam perkara Nomor 239/G/2021/PTUN.JKT.
Damianus mengatakan, alasan gugatan tersebut adalah karena keputusan tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.45/Menlhk/Setjen/HPL.0/5/2016 maka Perubahan Luasan Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi, yang bersumber dari permohonan pemerintah daerah, maka harus dilengkapi dengan persetujuan/pernyataan tidak keberatan dari pemegang izin dalam bentuk akta notarial.
“Persetujuan mana yang tidak pernah diberikan oleh PT SKR. PT SKR tidak pernah dipanggil atau dimintai tanggapan apapun atau bahkan tidak pernah dikasih peringatan apapun sebelumnya, tiba-tiba terbit SK Menteri LHK No.75 tersebut,” ujarnya.
Sekarang, sebut Damianus, kliennya sudah memenangi perkara ini sampai Mahkamah Agung (MA). Isinya, menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, dan menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara.
“Karena mereka tidak mengindahkan putusan MA, maka kita akan melakukan upaya hukum dengan melaporkan PT RKT ke Mabes Polri dengan dugaan pidana perambahan hutan yang masih dilakukan secara masif, terstruktur dan terencana,” pungkasnya. [*/red]
Discussion about this post