Oleh: Yulfi Alfikri Noer
Kalimat Praat als een kip zonder kop yang sering diucapkan oleh Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A., seorang ahli hukum senior Indonesia, memiliki arti yang dalam dan relevan dalam dunia hukum dan politik. Praat als een kip zonder kop berasal dari bahasa Belanda. Artinya: berbicara seperti ayam tanpa kepala. Yakni berbicara dengan tidak ada isinya sama sekali. Omongan yang tidak konek, omongan tak bermakna yang tidak membawa manfaat apa pun.
Prof. Sahetapy sering menggunakan ungkapan ini dalam konteks hukum dan politik untuk menggambarkan betapa pentingnya memiliki argumen yang kuat dan relevan dalam setiap diskusi. Sebagai seorang akademisi yang dihormati, Prof. Sahetapy selalu menekankan pentingnya berpikir kritis dan mendalam sebelum mengeluarkan pernyataan publik. Ia percaya bahwa setiap kata yang diucapkan harus didasari oleh pemahaman yang mendalam dan bukti yang kuat. Dalam banyak kesempatan, ia mengingatkan murid-murid dan rekan-rekannya untuk tidak terjebak dalam retorika kosong yang hanya bertujuan untuk mengesankan orang lain tanpa memberikan kontribusi nyata.
Dalam perjalanan kariernya, Prof. Sahetapy tidak hanya mengajarkan pentingnya substansi dalam berbicara, tetapi juga memberikan teladan dengan cara berkomunikasi yang penuh perhatian dan integritas. Ia dikenal sebagai sosok yang mendengarkan dengan seksama sebelum memberikan tanggapan. Hal ini membuat banyak orang merasa dihargai dan diperhatikan saat berdiskusi dengannya.
Di berbagai seminar dan lokakarya, Prof. Sahetapy sering mengajak peserta untuk berlatih berargumen secara konstruktif. Ia mendorong mereka untuk menyusun pemikiran yang logis dan mendukungnya dengan data yang relevan. Dengan cara ini, ia berharap agar generasi muda dapat belajar untuk berbicara dengan jelas dan berdaya guna, serta tidak terjebak dalam pembicaraan yang dangkal.
Prof. Sahetapy juga sering menekankan pentingnya konteks dalam berkomunikasi. Ia mengingatkan bahwa tidak semua argumen atau pernyataan berlaku secara universal, penting untuk memahami audiens dan situasi sebelum menyampaikan pendapat. Dalam hal ini, ia mendorong para mahasiswa dan profesional untuk melakukan riset dan mempersiapkan diri dengan baik sebelum berbicara.
Prinsip ini menjadi sangat relevan dalam konteks politik, khususnya dalam pilkada. Jika istilah praat als een kip zonder kop dikaitkan dengan pengamat, timses, tim hore dan pendukung salah satu paslon, hal ini bisa mencerminkan bagaimana komunikasi politik sering kali dipenuhi dengan retorika yang tidak substansial. Pengamat, timses, tim hore dan pendukung kadang-kadang terjebak dalam perdebatan yang lebih banyak berbicara tanpa dasar yang kuat atau tanpa membahas isu-isu yang nyata dan relevan.
Pengamat yang “professional” bukan pengamat rasa timses, diharapkan mampu memberikan analisis yang mendalam dan objektif mengenai calon dan program yang ditawarkan. Mereka harus mampu memisahkan fakta dari opini dan tidak terjebak dalam narasi yang menguntungkan satu pihak. Mereka perlu menghindari pembicaraan yang dangkal dan sebaliknya, mendorong diskusi yang berbasis pada fakta, data, dan argumen yang kuat. Dengan melakukan hal ini, mereka tidak hanya membantu publik untuk lebih memahami pilihan yang ada, tetapi juga berkontribusi pada proses demokrasi yang sehat.
Dalam konteks pilkada, penting bagi pendukung calon untuk tidak hanya menjadi “loud voices” yang mempromosikan calon mereka, tetapi juga menjadi agen diskusi yang konstruktif. Mereka harus mampu mendengarkan kritik dan masukan dengan terbuka, serta menjawab dengan argumen yang berbasis pada fakta. Dengan cara ini, mereka tidak hanya mempertahankan dukungan, tetapi juga berkontribusi pada dialog yang lebih sehat dan informatif di masyarakat.
Namun, beberapa pendukung mungkin lebih fokus pada menyerang calon lawan atau memperbesar prestasi calon mereka sendiri tanpa memberikan argumentasi yang solid. Ini dapat menciptakan suasana diskusi yang tidak produktif, di mana semua orang berbicara, tetapi tidak ada yang benar-benar mendengarkan atau memahami inti masalah. Dalam situasi seperti ini, pemilih bisa merasa kebingungan atau kehilangan arah dalam memilih calon yang benar-benar layak.
Oleh karena itu, selain menjaga objektivitas, penting juga bagi pengamat dan pendukung untuk mengingat tujuan utama dari debat dan diskusi politik. Ketika debat dan diskusi berlangsung, baik pendukung maupun pengamat harus selalu mengingat bahwa tujuan akhir adalah untuk mendorong perubahan positif dan memastikan bahwa suara masyarakat didengar. Oleh karena itu, menghindari pembicaraan “seperti ayam tanpa kepala” menjadi sangat penting. Mereka harus fokus pada isu-isu yang benar-benar relevan, seperti kebijakan publik, transparansi, dan akuntabilitas calon, sehingga pemilih dapat membuat pilihan yang berinformasi dan bijaksana.
Dengan demikian, komunikasi yang bermakna dan substansial adalah kunci untuk mendorong dialog yang konstruktif dalam arena politik, dimana setiap individu, baik sebagai pengamat, timses, tim hore maupun pendukung, memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan informasi dengan jelas dan berdasarkan fakta. Menghindari pembicaraan yang kosong dan fokus pada isu-isu yang relevan tidak hanya meningkatkan kualitas diskusi publik, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Dalam dunia yang sering dipenuhi dengan retorika yang tidak substansial, komitmen terhadap integritas dan substansi akan memastikan bahwa suara masyarakat tidak hanya didengar, tetapi juga dihargai. Dengan pendekatan ini, kita semua berperan dalam menciptakan iklim politik yang lebih sehat dan demokratis, di mana setiap argumen didasari oleh pemahaman yang mendalam dan aspirasi untuk perubahan positif.
Penulis adalah Tenaga Ahli Gubernur Bidang Sumber Daya Manusia
Discussion about this post