Aurduri.com – Baru-baru ini publik dihebohkan dengan informasi penganiayaan terhadap seorang wartawan yang dilakukan pedagang gas elpiji subsidi di wilayah hukum Kepolisian Resor (Polres) Batanghari.
Akibat penganiayaan tersebut seorang wartawan berinisial RS mengalami luka di bagian kepala dan punggung. Hingga saat ini (19/12/2022) kepala korban terasa pusing dan masih memerlukan perawatan medis meskipun korban dirawat di kediamannya.
Kejadian penganiayaan tersebut bermula saat RS melakukan wawancara terkait dugaan penimbunan gas melon di RT 005, Desa Simpang Rantau Gedang, Kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari, Jambi pada Sabtu (17/12/2022) kemarin.
Tidak berapa lama kemudian Firdaus yang diketahui suami narasumber RS yang diduga pedagang gelap gas elpiji subsidi tersebut menyerang RS dengan sebatang besi.
Meski wartawan ini sudah berlari meninggalkan tempat kejadian, Firdaus tetap saja melakukan pengejaran. Bahkan saat itu Firdaus sudah bersama temannya melakukan pengejaran terhadap RS dengan dua sepeda motor.
Beruntung niat buruk Firdaus ini kandas saat wartawan tersebut terlepas dari buruannya.
Untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum RS melaporkan persolan ini ke Polres Batanghari pada Minggu malam (18 /12/2022).
Dan meskipun sudah membuat laporan ke Polres Batanghari pengaduan RS tersebut belum bersambut dengan proses hukum yang semestinya. Karena sampai saat ini pelaku belum diproses.
Menanggapi hal tersebut Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Pusat Studi Pembangunan Republik Indonesia (DPW PUSPA-RI) Provinsi Jambi, Arian Arifin, angkat bicara dan akan mempertanyakan terkait hal ini kepada Polres Batanghari.
“Kekerasan terhadap siapa pun merupakan tindakan kriminal, apalagi terhadap jurnalis. Maka saya mengecam keras penganiayaan tersebut,” ujarnya saat dihubungi BITNews.id, Senin (19/12/2022).
Di dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
“Jadi, poinnya kepada siapa saja yang sengaja melawan hukum, menghambat, atau menghalangi ketentuan Pasal 4 ayat (3), maka dapat dipenjara maksimal 2 tahun, dan denda paling banyak Rp500 juta,” ujar Arian Arifin.
“Akan kita pertanyakan dan akan kita kawal sampai tuntas, demi keadilan,” tegasnya. [red]
Discussion about this post